Morning Vibes & Trading Mood
Pagi itu vibes-nya lagi calm but hopeful. Chart EUR/USD keliatan cakep, RSI udah jelas nunjuk angka 75 — textbook bilang itu overbought, baby. Tapi entah kenapa, tangan ini kayak punya free will. Belum ngopi aja udah hovering di tombol “Buy”.
Honestly, aku sempet ngomong ke diri sendiri, “Don’t do it, girl. You know better.“
Tapi ya… you know how it ends.
✦ Instinct vs Indicator: Who’s the Real Boss?
Waktu RSI ngasih warning, itu harusnya jadi red flag. Tapi hati kecil malah bilang, “Ah, market masih bisa naik dikit lah. Lagian candle-nya bullish banget tuh.”
In that moment, aku sadar: ini bukan soal teknik, tapi soal ego. Kadang, kita lebih percaya sama feeling dibanding indikator yang udah jelas kasih sinyal. Padahal feeling nggak bisa backtest, girl.
✦ The Buy That Shouldn’t Be
Klik “Buy” itu rasanya campur aduk. Excited, takut, dan sedikit delusional. Chart masih naik sih… for like, two minutes. Lalu tiba-tiba boom, reversal. Candle merah panjang turun kayak drama rating tinggi.
RSI pun slowly turun ke zona aman, tapi sayangnya entry point-ku udah kelewat mahal.
“Should’ve trusted RSI,” bisik hatiku sambil liat floating minus makin gede.
✦ Blame Game: Indicator Edition
Jujur aja, sempet ada momen denial. “Mungkin RSI-nya lagi error,” pikirku.
Padahal jelas-jelas indikator itu udah kerja keras kasih sinyal. Dia yang disiplin, aku yang rebel.
It’s like blaming Google Maps waktu nyasar padahal salah belok sendiri.
And trust me, market doesn’t care about your excuses.
✦ Overtrading is Real, Sis
Nggak berhenti sampai situ. Setelah cut loss, aku malah buka posisi baru — lagi. RSI masih di atas 70, tapi entah kenapa kayak ada bisikan gaib: “Coba sekali lagi deh, pasti profit kali ini.“
Yes, that’s not a strategy. That’s called overtrading and denial combo.
Trading bukan soal balas dendam, tapi waktu loss datang, rasanya pengen banget ngejar balik kayak adegan film action.
Unfortunately, this ain’t Hollywood. Ini MetaTrader.
✦ Akhirnya Belajar Juga?
Setelah dua posisi buy kena SL dalam waktu 15 menit, aku diem. Kayak beneran diem. Chart tetap gerak, tapi jiwaku kayak lagi buffering.
And that’s the moment of truth.
Baru sadar kalau sebenarnya, indikator itu bukan musuh. Dia kayak temen jujur yang sering kita cuekin. RSI udah ngingetin dari awal. Tapi manusia memang susah dibilangin, apalagi pas market keliatan “nggoda”.
Lesson learned: indikator bukan buat dipajang, tapi buat didengar.
Kalau RSI udah bilang overbought, ya maybe… just maybe, trust it?
✦ Self-Talk After SL
Setelah chaos pagi itu, aku nulis di jurnal:
“Next time, trust RSI. Jangan maksa entry cuma karena FOMO. Market bukan lomba cepat-cepatan entry, sayang.”
Kadang, kita perlu reminder. Bukan cuma dari mentor, tapi dari pengalaman bodoh yang kita ulang berkali-kali. Karena honestly, sometimes the best teacher is a floating minus yang nyesek banget.
✦ The Funny Part? I’ll Do It Again
Besoknya? Aku liat chart lagi, RSI 72.
Tangan? Masih gatel.
Tapi kali ini, aku tarik napas dulu. Buka jurnal, baca ulang.
“Calm down, you’re not a cowboy.”
Dan untuk pertama kalinya dalam seminggu, aku… nggak entry. Small victory, but feels so good.
Maybe this is what growth feels like. Or at least, self-control.
Baca juga: CPI XAU/USD: Curhat Trader Saat Emas Dibanting News
✦ Disclaimer Fiktif
Cerita ini sepenuhnya fiktif. Jika ada kesamaan dengan pengalaman pribadi Anda, berarti kita sama-sama pernah kena zonk karena maksa entry waktu RSI bilang: “Bro, udah overbought.”
Trading butuh strategi, bukan drama. Dan RSI… kadang lebih jujur dari mantan.
