“I planned everything so carefully… and yet, it still went wrong.”
Pernah nggak sih, ngerasa udah analisa dengan penuh cinta, pakai indikator andalan, terus pasang SL di titik yang katanya “ideal”? Tapi kenyataannya, begitu SL kena… market langsung balik arah dan terbang tinggi seolah-olah mengejek kita dari kejauhan. It’s like the universe is mocking my entire setup.
Scene 1: SL Kena, Hati Juga Luka
Jadi begini ceritanya. Saat itu, saya buka posisi buy di pair favorit, lengkap dengan konfirmasi dari RSI, MACD, dan candlestick manis yang katanya bullish. Entry-nya cakep, feeling-nya mantap. SL saya pasang sekitar 30 pips di bawah support—biar aman, katanya. You know, just to stay on the safe side.
Sebagai trader yang ingin lebih paham teknikal, saya sempat baca ulang buku Technical Analysis of the Financial Markets karya John Murphy—lumayan bikin makin percaya diri sih. Lihat bukunya di sini
Tapi ya itu… market tetap punya cara sendiri buat nyakitin kita.
Scene 2: Terbang Tanpa Pamitan
Setelah SL kena, harga malah mantul dan naik ratusan pips. Candlestick-nya panjang-panjang, hijau semua, kayak parade kemenangan—tapi bukan kemenangan saya. Saya cuma bisa scroll chart sambil ngomong pelan, “Is this some kind of joke?”
Makanya sekarang, saya mulai rajin nulis jurnal trading. Setiap entry dan exit saya tulis rinci, biar bisa dievaluasi. Kalau kamu belum punya jurnal, bisa mulai dari yang simpel seperti ini: Cek contoh jurnalnya
Karena ternyata… ingatan kita suka bohong, apalagi pas rugi.
Scene 3: Overthinking is My Middle Name
Sejak kejadian itu, saya jadi overthinking tiap kali mau pasang SL. Mulai tanya-tanya ke grup WA, baca ulang semua ebook, sampai nonton video YouTube trader luar yang ngomongnya cepet banget tapi entah kenapa tetap ditonton. Desperate times call for desperate binge-watching.
Kadang sambil scroll HP juga. Kebetulan saya pakai Samsung—layarnya enak buat multitasking antara MetaTrader, YouTube, dan aplikasi catatan. Lihat rekomendasi HP-nya
Kalau mau curhat sambil tetap produktif, penting juga sih punya gadget yang mendukung.
Scene 4: Pelajaran dari SL yang Tega
Tapi lama-lama saya sadar, ini bukan soal SL-nya doang. Ini soal psikologi dan manajemen risiko. SL itu bukan musuh, tapi pelindung. It’s a bodyguard, not a backstabber.
Yang bikin sakit tuh ekspektasi kita yang terlalu tinggi dan rasa yakin yang nggak diimbangi logika.
Akhirnya saya mulai coba pendekatan baru: pakai SL berdasarkan ATR (Average True Range), bukan cuma “kira-kira aman”. Saya juga belajar menerima bahwa rugi itu bagian dari proses. Kadang pasar memang gak bisa ditebak, dan itu normal. Sometimes you win, sometimes you learn.
Scene 5: Just Laugh It Off (Before You Cry Again)
Sekarang, setiap kali SL kena dan harga terbang, saya cuma bisa senyum kecut dan bilang ke diri sendiri, “At least you followed your plan.”
Trading bukan soal menang terus, tapi soal konsistensi dan disiplin. Dan kalau masih sakit hati, ya curhat aja… kayak sekarang.
So, kalau kamu juga pernah ngalamin hal kayak gini, don’t worry. You’re not alone. Di balik semua SL yang menyakitkan, selalu ada pelajaran berharga.
Dan kalau pun nggak ada pelajaran… ya, at least bisa jadi bahan konten. Because pain shared is pain halved—especially when it’s funny.
Disclaimer:
Artikel ini bersifat fiktif dan ditulis untuk hiburan serta refleksi ringan para trader. Bukan ajakan untuk trading atau saran finansial. SL tetap penting, tapi jangan biarkan SL merusak hidup dan mood kamu, ya. Stay safe and keep laughing.
